Rumeksa Ing Wengi
Ana kidung rumeksa ing wengi
Teguh hayu luputa ing lara
Luputa bilahi kabèh
Jim sètan datan purun
Paneluhan tan ana wani
Miwah panggawè ala
Gunaning wong luput
Geni atemahan tirta
Maling adoh tan ana ngarah ing mami
Guna duduk pan sirna
Sakèhing lara pan samya bali
Sakèh ngama pan sami miruda
Welas asih panduluné
Sakèhing braja luput
Kadi kapuk tibaning wesi
Sakèhing wisa tawa
Sato galak tutut
Kayu aèng lemah sangar
Songing landhak guwaning
Wong lemah miring
Myang pakiponing merak
Pagupakaning warak sakalir
Nadyan arca myang segara asat
Temahan rahayu kabeh
Apan sarira ayu
Ingideran kang widadari
Rineksa malaekat
Lan sagung pra rasul
Pinayungan ing Hyang Suksma
Ati Adam utekku baginda Esis
Pangucapku ya Musa
Napasku nabi Ngisa linuwih
Nabi Yakup pamirsaningwang
Dawud suwaraku mangkè
Nabi Brahim nyawaku
Nabi Sleman kasektèn mami
Nabi Yusup rupèng wang
Édris ing rambutku
Bagindha Ngali kuliting wang
Abubakar getih daging Ngumar
Singgih
Balung bagindha Ngusman
Sungsumingsun Patimah linuwih
Siti Aminah bayuning angga
Ayup ing ususku mangkè
Nabi Nuh ing jejantung
Nabi Yunus ing otot mami
Nètraku ya Muhamad
Pamuluku Rasul
Pinayungan Adam Kawa
Sampun pepak sakathahè para nabi
Dadya sarira tunggal
Pemahaman Nilai Filosofi, Etika dan Estetika Dalam Wayang
ABSTRAK
Wayang
termasuk karya seni dan budaya Indonesia yang adi luhung. Di samping
bernilai filosofi yang dalam, wayang juga sebagai wahana atau alat
pendidikan moral dan budi pekerti atau yang dikenal dengan etika. Dunia
perwayangan memberi peluang bagi orang Jawa untuk melakukan suatu
pengkajian filsafi dan mistis sekaligus. Di sisi lain, cerita wayang
merupakan suatu jenis cerita didaktik yang di dalamnya memuat ajaran
budi pekerti yang menyiratkan tentang perihal moral. Bahkan bidang moral
merupakan anasir utama dalam pesan-pesan yang disampaikan wayang.
Sebagai jenis kesenian yang mencakup beberapa cabang seni (seni teater,
ukir, musik, dan sastra), estetika wayang begitu indah dan mempesonakan.
Nilai filosofi, etika, dan estetika itulah yang jika ditemukan dalam
ritual ruwatan, sebuah tradisi kebudayaan Jawa yang ditandai dengan
pergelaran wayang purwa cerita Bathara Kala dalam lakon “Murwakala”
-
PENDAHULUAN
Banyak orang, terutama bangsa Barat menganggap, pertunjukan wayang kulit sebagai shadow play atau schaduwenspel, sebuah permainan dengan bayang-bayang. Anggapan demikian terlalu naif. Pergelaran wayang tidak bisa disamakan dengan show
boneka panggung Michael Meschke (73) asal Swedia di Teater Kecil TIM
awal Maret 2005 lalu, yang diadaptasi dari teknik wayang Jepang,
Bunraku. Wayang mengandung arti jauh lebih dalam. Ia mengungkapkan
gambaran hidup semesta atau wewayanganing ngaurip, yang tidak ada hubungannya dengan bayang-bayang berupa silhouette hitam pada kelir yang ditimbulkan oleh sesuatu benda yang diterangi blencong.
Wayang
memberikan gambaran lakon perikehidupan manusia dengan segala
masalahnya yang menyimpan nilai-nilai pandangan hidup dalam mengatasi
segala tantangan dan kesulitannya. Dalam wayang selain tersimpan nilai
moral dan estetika, juga nilai-nilai pandangan hidup masyarakat Jawa.
Melalui wayang, orang memperoleh cakrawala baru pandangan dan sikap
hidup umat manusia dalam menentukan kebijakan mengatasi tantangan hidup.
Hal itulah yang dirasakan Dr Franz Magnis Suseno SJ, seorang sarjana
filsafat dan rohaniawan kelahiran Jerman yang kini bermukim di Jawa.
Setelah menekuni wayang, sampaikah dia pada kesimpulan bahwa dalam
memasuki kebudayaan Jawa, ternyata manusia memasuki kesadaran paling
dalam seluruh umat manusia. Kebijaksanaan Jawa yang paling dalam,
ternyata milik seluruh umat manusia. 1) Cerita wayang merupakan suatu
jenis cerita didaktik yang memuat ajaran budi pekerti. Bahkan bidang
moral, merupakan anasir utama dalam pesan-pesan wayang. Dua aspek
(filosofi dan etika) dalam wayang ini disempurnakan dengan nilai
estetika wayang sehingga seni wayang yang mencakup cabang kesenian ini
(seni teater, musik, sastra, ukir, dan sebagainya), menjadi sebuah seni
yang bernilai tinggi. Bisa dipahami, jika di tahun 2004 lalu, seni dan
budaya wayang kulit dari Indonesia ini (the Wayang Puppet Theater of Indonesia) dinobatkan sebagai karya adiluhung (masterpiece)
oleh PBB. Menurut Unesco, 28 jenis seni dan kebudayaan di dunia ini,
wayang kulit menempati urutan pertama sebagai karya adi luhung lisan
warisan kemanusiaan yang tak dapat dinilai (Masterpiece of the Oral and Intangible Heritage of Humanity).
-
I PENGERTIAN ISTILAH
Sebagai
kelanjutan dari yang disebutkan dalam pendahuluan, perlu disampaikan
uraian mendalam dalam sebuah judul “Pemahaman Nilai Filosofi, Etika, dan
Estetika dalam Wayang”. Untuk memperoleh kesamaan tolak pangkal
berpijak dan guna menghindari kesimpangsiuran interpretasi, perlu kita
sepakati apa yang dimaksud dengan nilai, filosofi, etika, estetika, dan wayang, dalam makalah ini.
-
Nilai
Perkataan
“nilai” dapat didefinisikan sebagai perasaan tentang apa yang baik atau
apa yang buruk, apa yang diinginkan atau apa yang tidak diinginkan, apa
yang harus atau apa yang tidak boleh ada (Bertrabd 1967). Nilai
berhubungan dengan pilihan, dan pilihan itu merupakan prasyarat untuk
mengambil suatu tindakan. Seorang berusaha mencapai segala sesuatu yang
menurut sudut pandangannya mempunyai nilai-nilai. Robin Williams (1960)
membicarakan “nilai sosial”, yaitu nilai yang dijunjung tinggi orang
banyak. Ada juga “nilai etika atau moral”, yakni ketentuan-ketentuan
atau cita-cita dari apa yang dinilai baik atau benar oleh masyarakat.
Satu lagi, “nilai budaya” yakni konsep mengenai apa yang hidup dalam
alam pikiran sebagai besar masyarakat, mengenai apa yang mereka anggap
bernilai, berharga, dan penting dalam hidup. (Koentjaraningrat 1980).
-
Filosofi
Istilah filosofi berasal dari kata Yunani “philosophia”
yang berarti “cinta kearifan”. Kata lain dari filosofi adalah filsafah,
falsafah, falsafat), yang berarti pengetahuan dan penyelidikan dengan
akal budi mengenai hakikat segala yang ada. Sebab, asal, dan hukumnya.
Definisi lain, ilmu yang berintikan logika, estetika, metafisika, dan
epistemologi. Sementara Kamus Umum Bahasa Indonesia susunan WJS
Poerwadarminta didefinisikan dengan : pengetahuan dan penyelidikan
dengan akal budi mengenai sebab, asas hukum, dan sebagainya tentang
segala yang ada dalam alam semesta, ataupun mengenai kebenaran arti
“adanya” sesuatu.
Filsafat menurut anggapan orang Jawa ialah, usaha manusia untuk
memperoleh pengertian dan pengetahuan tentang hidup menyeluruh dengan
mempergunakan kemampuan rasio plus indera batin (cipta-rasa). Maka bagi kita, berfilsafat berarti “cinta kesempurnaan” (ngudi kasampurnan, ngudi kawicaksanan)
dan bukan semata-mata “cinta kearifan”. 2) Jika orang jawa menyebut
bahwa wayang mengandung filsafat yang dalam, dunia perwayangan memberi
peluang bagi orang Jawa untuk melakukan suatu pengkajian filsafi dan
mistis sekaligus. Dunia perwayangan kaya sekali dengan lambang atau pasemon, bahkan hampir seluruh eksistensi wayang itu sendiri adalah “pasemon”.
-
Etika
Bidang
yang bersifat normatif, yang bersangkut paut dengan kesusilaan (akhlak,
moral), merupakan salah satu bidang filsafat yang disebut “etik” atau
“etika”. Dalam hal ini, etik memberi nilai buruk atau baik atas
perbuatan seseorang. Dengan demikian, etik atau etika (ethice),
merupakan filsafat tingkah laku yang di dalamnya memuat perihal
penilaian, yaitu penilaian terhadap tindakan yang dapat dikatakan baik
atau buruk berdasarkan ukuran-ukuran tertentu. Oleh karena itu,
Miklananda mendefinisikan etika sebagai ilmu yang mengajarkan manusia
“bagaimana seharusnya hidup”, atau Plato memandangnya sebagai ilmu yang
mengajar manusia “bagaimana manusia bijaksana hidup”, (Hazim Amir 1991;
97). Hal ini sesuai dengan konsep etika menurut wayang yakni mendidik
manusia ke arah tingkah laku yang sempurna, yang dapat membedakan mana
yang baik dan mana yang buruk.
-
Estetika
Estetika (estetis) adalah cabang filsafat yang mempersoalkan seni (art) dan keindahan (beauty). Istilah estetika berasal dari kata Yunani “aesthesis”, yang berarti pencerapan indrawi, pemahaman intelektual, atau bisa juga berarti pengamatan spiritual. Istilah art
(seni) berarti seni, keterampilan, ilmu, atau kecakapan. Keindahan atau
estetika merupakan bagian dari sebuah filsafat, sebuah ilmu yang
berintikan logika, estetika, metafisika, dan epistemologi. Batasan
keindahan sulit dirumuskan. Karena keindahan itu abstrak, identik dengan
kebenaran. Maka batas keindahan pada sesuatu yang indah, dan bukannya
pada “keindahan sendiri”
-
Wayang.
Yang
dimaksud wayang di sini, pertunjukan panggung atau teater atau dapat
pula berarti aktor dan aktris. Wayang sebagai seni teater berarti
pertunjukan panggung di mana sutradara (dalang) ikut bermain yang
peranannya dapat mendominasi pertunjukan seperti dalam wayang Purwa di
Jawa, wayang Ramayana di Bali, dan wayang Banjar di Kalimantan.. 3)
Ada puluhan jenis wayang yang terbesar di Indonesia. Dari semua jenis
wayang itu, yang paling terkenal dan tersebar luas di dalam dan di luar
negeri adalah, wayang purwa. Sebuah jenis pertunjukan wayang kulit
lakon-lakon yang semula bersumber pada cerita kepahlawanan India, yaitu
Ramayana dan Mahabharata. Dari Jawa Timur, wayang purwa menyebar ke
Bali, Kalimantan, dan Sumatra dan dipentaskan dengan bahasa-bahasa
setempat. Wayang purwa atau wayang kulit (meski nama ini tidak tepat),
telah disebut dalam Kakawin Arjuna Wiwaha karya Mpu Kanwa di zaman Airlangga (109-1043), dalam sarga V syair ke-9.
Wayang yang dibahas dalam makalah ini adalah jenis wayang purwa, yang difokuskan pada telaah ritual ruwatan dengan lakon Murwakala.
Di sini digunakan cara pendekatan yang berpangkal tolak dari penguraian
wayang purwa, yang ciri-ciri pokoknya dapat dibandingkan dengan
jenis-jenis wayang lainnya.
-
NILAI FILOSOFI WAYANG
Filsafat
dan wayang, keduanya tidak dapat dipisahkan. Berbicara tentang wayang
berarti kita berfilsafat. Wayang adalah filsafat Jawa. Karena wayang
mengambil ajaran-ajarannya dari sumber sistem-sistem kepercayaan, wayang
pun menawarkan berbagai macam filsafat hidup yang bersumber pada
sistem-sistem kepercayaan tersebut, yang dari padanya dapat kita tarik
suatu benang merah filsafat wayang.
-
Tujuan Hidup Manusia
Hidup haruslah berdasarkan kepada apa yang dinamakan kebenaran. Dan menurut wayang, “kebenaran sejati” (ultimate truth) hanyalah datang dari Tuhan. Untuk mendapatkan ini, manusia harus dapat mencapai “kesadaran sejati” (ultimate awareness) dan memiliki “pengetahuan sejati” (ultimate knowledge). Untuk itu, manusia harus dapat melihat “kenyataan sejati” (ultimate reality)
dengan melakukan dua hal. Pertama, mempersiapkan jiwa raganya sehingga
menjadi manusia yang kuat dan suci, dan kedua memohon berkah Tuhan agar
dirinya terbuka bagi hal-hal tersebut (tinarbuka).
Dimaksudkan
terbuka di sini adalah, sesuatu yang dicapai bukan melulu dari kekuatan
penalaran atau rasio. Saat rasio terhenti, untuk mencapai kebenaran
sejati, manusia harus menggunakan “rasa sejati” (ultimate feeling)
melalui mistik. Jika filsafat oleh orang Barat dilakukan atas dasar
rasio semata (akal, budi, pikiran, nalar), maka bagi dunia kejawen
pengkajian kebenaran dilakukan melalui rasio plus indera batin. Inilah
bedanya antara “ilmu” dan “ngelmu”. Dengan mistis,
manusia dapat melihat “kenyataan sejati” tentang dirinya, asal mula diri
dan kehidupannya, yang semua itu dirangkum dalam ajaran “sangkan paraning dumadi” (asal mula dan akhir kehidupan manusia). 4)
Wayang semacam “Kitab Undang-undang Hukum Dharma” (KUHD) yang menuntun manusia dalam meniti jalan kehidupan antara “sangkan” (asal) dan “paran”
(tujuan) menuju yang abadi (Tuhan). UU Dharma itu tidak dituang dalam
berbagai bab, pasal, dan ayat sebagaimana UU Hukum Kenegaraan,malainkan
terjalin dalam serangkaian kisah-kisah simbolik yang menarik semacam “dharmakathana” atau “dharmmasarwacastra” yang menggambarkan pertarungan dua kekuatan yang berlawanan dalam diri manusia. Kekuatan destruktif (napsu rendah, keangkaramurkaan) yang menuju kepada kemungkaran (hidup sesat, urip sasar-susur), dan satu lagi kekuatan konstruktif (napsu luhur, keutamaan) yang mengangkatnya kepada kebenaran. 5) Sebagai pasemon, perlengkapan wayang seperti kotak kelir, blencong, dan dalang yang digunakan dalam pertunjukan wayang, juga mengandung nilai filosofi tentang ilmu sangkan paraning dumadi. Kelir melambangkan jagad kang gumelar, blencong
sebagai surya yang meneranginya, wayang diperjalankan oleh dalang yang
melambangkan Gusti, sementara kotak sebagai alam baka setelah berkiprah
di jagad “pakeliran”.
Seni pertunjukan wayang itu sendiri, juga mengandung nilai filosofi. Sebagai contoh, gending-gending pembukaan (talu) yang mengawali sebuah pergelaran wayang, sudah dibakukan jenis dan urutannya. Gending patalon itu terdiri dari Cucur bawuk, dilanjutkan Pare Anom, Ladrang Srikaton, Ketawang Sukmailang, naik ke Gending Ayak-ayakan Manyura dan Srepegan Manyura, dan dipungkasi Gending Manyura.
Gending patalon ini melambangkan suatu tataran tingkat kehidupan
manusia, atau penjelmaan zat. Gending patalon ditabuh sebelum
pertunjukan sebagai lambang penjelmaan zat sebelum manusia lahir di alam
kehidupan nyata. Ini berarti, rancangan tataran tingkat kehidupan
manusia sudah ada terlebih dulu di zaman alam baka.
-
Ketauladanan dalam Wayang
Manusia sebagai makhluk batas antara kedua kekuatan yang berlawanan (konstruktif dan destruktif),
selalu diharapkan kepada suatu pilihan yang dilematis, yakni konflik
dengan dirinya sendiri. Di sini, terserah kepada manusia sendiri jalan
mana yang dipilihnya, dengan resiko masing-masing. Dalam menghadapi
dualisme demikian ini, manusia memerlukan pemimpin yang dianggap bisa
membimbing dan menuntunnya menuju jalan yang benar menurut ajaran dharma
yang berlaku dan dianutnya.
Secara
teologis, kepemimpinan dalam agama atau kepercayaan adalah petunjuk
Tuhan dalam Kitab Suci (Alquran, Bible, Wedha dan sebagainya). Yang
berwujud figur manusia, bisa berupa Nabi, Rasul, dan Orang-orang Suci.
Ada beberapa tokoh pewayangan yang bisa dijadikan pemimpin atau panutan
bagi manusia hidup di dunia. Uniknya, dalam sistem filsafat perwayangan,
tokoh pemimpin sentralnya ternyata bukanlah seorang raja yang menjadi
pahlawan dalam sebuah lakon seperti Sri Ramawijaya, Prabu Basukarna, Sri
Kresna, Prabu Suyudana, atau Bathara Guru. Lalu siapa? Kiai Semar
Badranaya sang panakawan (punakawan). Para panakawan adalah
sahabat-sahabat yang arif. Mereka selalu mengabdi kepada kesatria yang
berbudi luhur, dari pihak yang memperjuangkan kebenaran dan keagungan.
Semar
adalah tokoh Panakawan asli bangsa Indonesia sejak 2500 tahun lalu.
Tetapi dalam kisah perwayangan, Semar adalah Bathara Ismaya. Dewa ini
turun ke bumi di Karangkedhempel dengan misi suci mengabdi kepada
manusia yang berbudi luhur. Istilah Jawanya, “dewa ngawula kawula kang ngawula dewa’,
dewa mengabdi manusia yang beriman kepada Tuhannya. Jika nabi dari
rasul adalah pemimpin yang mendasarkan kepemimpinannya atas ajaran Kitab
Suci, Semar kepemimpinannya atas kelima prinsip “sangkan paraning dumadi”. Semar lebih banyak berada di belakang layar sebagai panakawan (abdi, batur) yang selalu “tut wuri handayani’.
Karena itu, siapa saja yang diemong Semar (yang berarti iman kepada
Allah), akan memperoleh kejayaan. Sebagai pasemon, Semar melambangkan
kesadaran kita yang paling dalam, yakni rasa eling (ingat). Rasa eling inilah yang memimpin kita meniti jalan kehidupan kita antara sangkan dan paran
menuju “Yang Abdi”. Rasa eling ini diharapkan senantiasa melindungi
kita dari goda dan bencana. Jika dalam menghadapi kemelut apapun dan
sebesar apapun, kita selalu eling dan waspada, insya Allah kita akan aman dan rahayu slamet nir sambekala.
-
Aspek Filosofi dalam Ritual Ruwatan
Satu lagi aspek pertunjukan wayang yang mengandung nilai filosofi adalah, ritual ruwatan.
Awal mulanya, wayang memang sebagai upacara keagamaan masyarakat Jawa
yang berkepercayaan animisme dan dinamisme, tetapi kemudian menjadi
sarana ritual ruwatan dan pertunjukan yang profan. Ritual ruwatan
sejak zaman Majapahit ini bisa dilihat pada relief yang dibangun di
zaman itu seperti pada Candi Sukuh (Jateng) dan Candi Tegalwangi
(Jatim). Ruwatan bertujuan untuk membersihkan manusia dari kesialan (sukerta) demi penyelamatan manusia melalui ritual tertentu dan pergelaran wayang ruwatan dengan lakon Murwakala.
Ritual ini masih sering dilakukan masyarakat Jawa, baik secara
perorangan maupun berupa ruwatan massal. Seluruh pola lakon Murwakala
bersumberkan asli Jawa, yang bisa ditilik dari rekaman nama-nama para
pelakunya seperti Jusmati, Nyai Randha Prihatin, dan Buyut Wangke.
Bahkan Bathara Wisnu pun beralih nama menjadi Dalang Kandha Buwana, dan
Narada menjadi Pengendhang Karurungan.
Sinopsis lakon Murwakala dengan ritual ruwatan
itu sebagai berikut. Bathara Kala adalah putra Sang Hyang Manikmaya
(Bathara Guru) dengan Dewi Umayi yang keenam. Ketika keduanya pesiar
mengendarai Lembu Andini, Manikmaya terangsang berat untuk menyenggamai
istrinya. Karena Umayi menolak, dia dikutuk menjadi raseksi bernama Bethari Durga dan bermukim di Setra Gandamayit. Mani (kama, rahsa)
Manikmaya jatuh ke samudra dan lahirlah bayi raksasa yang membuat
keonaran di laut. Hal ini membuat Dewa Laut mengadu ke Suralaya, yang
kemudian mengerahkan para dewa untuk memeranginya, namun kalah. Baru
setelah dikenai aji kemayan, bayi itu menyerah. Taring kanannya
dipotong dan berubah menjadi keris Kalanadah, sedang taring kiri
berubah menjadi Kaladita. Bayi raksasa itu kemudian diakui sebagai anak
Bathara Guru dan dinamai Bathara Kala diberi wewenang untuk menjadi jalma atau janma sukerta dan orang aradan, yaitu orang yang lalai dalam kehidupannya.
Dahi
Bathara Kala digores dengan tiuisan Rajah Kalacakra. Bagi orang yang
mampu membacanya, dia terlepas jadi santapannya. Bathara Kala juga
diberi gada (bedana) oleh Bathara Guru untuk memburu calon
mangsanya. Pemberian hak dan wewenang istimewa ini diprotes Bethara
Narada karena dianggap berlebihan yang mengakibatkan kekacauan di dunia.
Bathara Guru menginsyafi kesalahannya dan kemudian mengutus Bathara
Wisnu sebagai Dalang Kandha Buwana untuk menggagalkan ulah Bathara Kala.
Ketika Kandha Buwana sedang memainkan wayang lakon Murwakala, datanglah Bathara Kala mengejar-ngejar mangsanya yang jalma sukerta. Maksudnya menjadi terhalang ketika Kandha Buwana mampu me-wedar-kan Rajah Kalacakra di dahi Bathara Kala. Demikianlah, Bathara Kala lalu di-ruwat atau disucikan ki dalang, termasuk mangsanya pun ikut tersucikan.
Ada 136 jenis dan kriteria janma sukerta tandha kala yang menjadi mangsa Bathara Kala sehingga orang itu perlu di-ruwat. Ruwatan dengan aneka sesajian seperti nasi gurih, tumpeng robyong, jadah, bubur, sirih, buah, bunga, telur ayam, sepasang burung dan lain-lain menurut bentuk ruwatan
yang akan dijalankan. Seluruh upacara dipimpin oleh dalang, Selain adat
potong rambut dan yang diruwat mengenakan busana kain putih (lawon), yang pasti ditandai dengan pergelaran wayang kulit dengan lakon Murwakala. Biasanya pergelaran ruwatan ini diselenggarakan di siang hari.
Ritual ruwatan
yang merupakan tradisi Jawa yang bisa dianggap sebagai kegiatan yang
irasional. Tetapi seperti disebutkan di muka, kebenaran dalam dunia kejawen tidak selamanya harus mandek pada rasio, tetapi rasio plus indera batin. Pendekatan ruwatan haruslah dengan pendekatan kultural yang dalam hal ini budaya Jawa. Filosofi dari ritual ruwatan harus dipandang sebagai sarana untuk membebaskan predikat sukerta manusia. Manusia sukerta
adalah manusia yang dilahirkan secara kodrati membawa kelainan
psikologis (bukan sakit jiwa). Sehingga memerlukan terapi khusus berupa ruwatan. Ruwatan dilakukan oleh dalang sejati Kandha Buwana yang sudah mempunyai dalam hal ngelmu sangkan paraning dumadi melalui ajaran yang tersirat dalam Rajah Kala Cakra.
Ruwatan
merupakan hasil budaya manusia Jawa yang mengandung simbol
ajaran-ajaran yang dalam tentang kehidupan. Budaya ini bisa dikaji
melalui berbagai disiplin ilmu: pedagogi, psikologi, antropologi,
filsafat, dan juga melalui budaya spriritual. Lewat ruwatan,
diharapkan mampu membuka kesadaran yang paling dalam pada diri manusia
untuk mengenali diri sendiri dan kedudukannya di tengah kehidupan alam
semesta. Dengan penyadaran itu, diharapkan manusia menjadi tinarbuka dan menyadari akan kekuatan dan kelemahannya, serta menyadari alam kekuasaannya dan kepasrahannya. Pada hakikatnya, ruwatan
merupakan simbol penyelamatan kondisi psikologis manusia, melepaskan
diri dari sukerta atau kesialan. Hilangnya gigi atau taring Bathara
Kala, memperjelas pemaknaan simbolik yang dikandung, bahwa yang diincar
sebagai mangsanya bukan bentuk fisiknya, melainkan ketimpangan psikisnya
yang tak seimbang. Terapinya lewat jalur kultural, yakni pembudayaan
dan pendidikan yang holistik.
-
NILAI ETIKA DALAM PERWAYANGAN
Nilai
etika yang dibahas dalam makalah ini, adalah nilai-nilai yang
terkandung dalam cerita wayang, baik menurut babon Ramayana atau
Mahabharata maupun cerita dalam lakon pedhalangan. Cuplikan
cerita hanya merekomendasi sebagian tata nilai dari kompleksitas nilai
budaya yang pernah berkembang pada masyarakat Jawa Kuna.
-
Anasir Pendidikan Etika dalam Wayang
Cerita
perwayangan memuat anasir pendidikan. Karena itu, dapat digunakan
sebagai salah satu media dalam upaya untuk mengubah tingkah laku atau
sikap seseorang dalam rangka mendewasakan manusia. Cerita wayang bukan
saja merupakan salah satu sumber pencarian nilai-nilai bagi kelangsungan
hidup masyarakat, namun juga sebagai wahana atau alat pendidikan. 6)
Sebagai alat pendidikan, wayang menawarkan ajaran dan nilai-nilai yang
tidak secara dogmatis sebagai indotrinasi. Terserah penikmat
menafsirkan, menilai, dan memilih nilai-nilai itu. Karena itu, satu sisi
tokoh Kumbakarna bisa dinilai sebagai pengkhianat karena berpihak
kepada Rahwana kakak kandungnya yang menculik Dewi Sinta, namun di sisi
lain dia bisa dinilai sebagai pahlawan karena jiwa patriotiknya membela
Tanah Airnya. Ajaran dan nilai-nilai tersebut juga dihadirkan melalui
tokoh-tokoh tertentu seperti Bambang Sumantri yang patriotik, atau
Puntadewa yang ,ukhlis, dan Dewi Sembadra yang feminis.
Karena
cerita wayang merupakan wahana atau alat pendidikan, wayang merupakan
wahana bagi proses sosialisasi ataupun enkulturasi. Bahkan dengan proses
sosialisasi, wayang mengemban fungsi edukatif mempersiapkan anggota
masyarakat agar mampu memainkan peran-peran sosial sesuai dengan pilihan
hidupnya, dengan jalan mengembangkan sikap mental, menanamkan
nilai-nilai dan kemampuan mengendalikan diri, dan memberikan orientasi
pemahaman. Wayang merupakan salah satu wahana untuk mendewasakan manusia
secara sosial (maturasi), sebagaimana yang diharapkan oleh Begawan Abiyasa kepada para Pandawa lewat adegan wejangan-nya.
Karena itu, cerita wayang merupakan cerita didaktik yang didalamnya
memuat ajaran budi pekerti yang menyiratkan tentang perihal moral.
Bidang yang bersifat normatif, yang bersangkutan dengan kesusilaan atau
akhlak, merupakan salah satu bidang filsafat yang disebut “etika”, dalam
hal ini etika memberi nilai buruk atau baik atas perbuatan seseorang.
-
Komunikasi Simbolik dan Media Ekspresi
Kehadiran
wayang tidak dapat dipisahkan dalam komunikasi. Sebab, di samping
isinya menggambarkan tentang bagaimana seharusnya manusia bertingkah
laku dalam rangka interaksi antar umat manusia, juga mengemban fungsi
sebagai media komunikasi, yakni menjadi alat untuk menyampaikan
pesan-pesan, utamanya yang berhubungan dengan bidang etik. Karena
pesan-pesan etik senantiasa dikemukakan secara eksplisit, malah
seringkali secara implisit tersirat dalam alur cerita, maka diperlukan
penafsiran terhadap makna-makna simbolik yang tersirat. Untuk
kepentingan komunikasi, dunia ideal itu dieksternalisasikan ke dalam
dunia material, baik dalam bentuk perilaku verbal yang menghasilkan teks
ataupun perilaku kinesik. Ditinjau dari idealisme, pergelaran wayang
terkait dengan proses komunikasi, dimana pengetahuan dan kemauan yang
berkenaan dengan etika dieksternalisasikan.
Internalisasi
simbolik adalah interaksi dan komunikasi yang memberikan kehidupan
sosial yang ditandai oleh penggunaan bahasa (dalam arti luas) atau
tindakan-tindakan yang bersifat simbolik. Untuk menangkap makna-makna
yang terkandung dalam cerita wayang, diperlukan interpretasi terhadap
tingkah laku bersimbol dari pemeran cerita. Keberadaan wayang lebih
terkait dengan proses komunikasi simbolik, tepatnya komunikasi simbolik
satu arah. Banyak ahli berpendapat, bahwa 75 % dari pengetahuan manusia
bisa sampai ke otaknya, melalui mata, dan selebihnya menggunakan indra
pendengar dan indra-indra yang lain. Dengan demikian, menyampaikan pesan
moral lewat wayang yang menggunakan media ekspresi audio-visual,
merupakan cara yang lebih efektif dalam rangka pendidikan etik.
-
Nilai-nilai Etik dalam Wayang
Nilai
etik yang dibahas dalam makalah ini adalah cerita atau lakon dalam
perwayangan Banyak lakon yang mengandung nilai etika atau moral, seperti
lakon Dewa Ruci tentang keteguhan hati seseorang, lakon Bale Sigala-gala
tentang kuasa Tuhan yang menyelamatkan hambanya yang teraniaya. Nilai
etika itu juga terdapat pada figur Semar sebagai pamong, di mana Semar
yang hidup sepanjang zaman dalam pergelaran wayang purwa ini selalu
mengabdi kepada para kesatria yang berwatak luhur. Biasanya induk
semangnya bukan orang kaya, bahkan seringkali kesatria yang sedang
sengsara menghadapi berbagai cobaan berat dalam perjuangan menegakkan
kesatria yang sedang sengsara menghadapi berbagai cobaan berat dalam
perjuangan menegakkan kesatria yang sedang sengsara menghadapi berbagai
cobaan berat dalam perjuangan menegakkan kebenaran.
Meski
hanya seorang abdi, namun nasihat-nasihat Semar pantang untuk
dilanggar. Jika sekali dua kali dilanggar, maka celakalah asuhannya itu
seperti yang diperagakan dalam lakon Kilat Bawana, Semar Kuning, Semar Papa,
dan sebagainya. Baru setelah bendaranya minta maaf kepada Semar, mereka
terlepas dari kesengsaraan. Namun, tidak selamanya Semar berada di
belakang layar. Pada saat yang gawat, ia turun tangan mengambil
inisiatif secara aktif. Saat Bathara Guru berlaku tidak adil dan
menyeleweng dari hukum kebenaran (dharma), maka Semar tak
segan-segan melabraknya tanpa ampun. Begitulah etika pemimpin yang
diperagakan oleh tokoh Semar. Tentu banyak nilai etika yang diperoleh
dari kisah atau figur-figurnya. Hampir setiap tokoh wayang, di samping
memiliki sisi buruk juga memiliki sisi baik yang bisa diteladaninya.
-
Nilai Etik pada Lakon “Murwakala”
Nilai etika atau moral juga terdapat dalam lakon “Murwakala” yang digelar setiap ritual ruwatan. Murwakala mengisahkan tentang asal-usul kehidupan atau purwaning dumadi. Sebuah ajaran spiritualisme yang disampaikan lewat simbol dan pasemon,
yang mendorong kita untuk melakukan kajian filsafati tentang kehidupan
di dunia yang penuh tantangan ini. Tetapi, ajaran moral yang
diproyeksikan dalam adegan akhir lakon “Murwakala”, justru
sebenarnya yang menjadi inti ajaran spiritual yang perlu dimaknai secara
cermat. Ia adalah sebuah terapi psikologis agar manusia mampu menguasai
“Sang Kala” (kendala dan kerawanan) untuk meniti masa depannya.
Sebagai ajaran moral, cerita Murwakala
mengingatkan manusia akan akibat dari perilaku seks menyimpang.
Asal-usul manusia tidak bisa dipisahkan dari kejahatan seperti terjilma
dalam tokoh Bathara Kala yang dari kama salah. Jadi Murwakala
sebenarnya merupakan upaya orang Jawa untuk menerangkan adanya akibat
kejahatan seks. Dalam dunia pendidikan, Bathara Kala yang dalam
perwayangan berwanda barong ini, sebagai lambang keangkaramurkaan yang
harus diperangi.
Mengapa
Bathara Kala dilahirkan Bathara Guru, raja para dewa di Kahyangan?
Orang Jawa selalu bertolak dari pengalaman konkrit. Dalam pengalaman
itulah ia merasa bahwa sejak kelahirannya tidak bisa lepas dari pengaruh
kejahatan. Kejahatan itu demikian besar pengaruhnya, sampai raja dewa
pun terkena. Bukan Bathara Guru yang melahirkan kejahatan, tetapi ia
terkenal oleh kejahatan (nafsu) sehingga lahirlah Bathara Kala. Bahwa
Bathara Guru bisa terkena kejahatan, itu disebabkan oleh pandangan
tradisional masyarakat Jawa tentang anthropoformisme para dewa. Dewa
bisa berubah dan bertingkah laku seperti manusia, sehingga Bathara Guru
pun bisa bersalah. Apalagi dalam pandangan orang Jawa, para dewa bukan
termasuk tataran tertinggi yang sudah sempurna. Tataran tertinggi yang
sempurna adalah jagad raya sendiri dan kesuciannya.
Tapi
sekali lagi, orang Jawa tidak terlalu bersoal dengan teori akstrak
tentang kejahatan. Yang lebih penting adalah penyelamatan dari kejahatan
itu, sehingga acara ruwatan sebenarnya lebih merupakan praktik
penyelamatan dari kejahatan daripada kisah asal-usul kejahatan itu
sendiri. Kisah Bathara Kala bukanlah yang utama. Ia hanya semacam
pengantar untuk masuk ke pelaksanaan ruwatan, di mana dalang mengucapkan
kata-kata suci dan bertuah. Dalam pelaksanaan ruwatan itu dalang me-wedar-kan makna Rajah Kalacakra, yakni kawruh sejatining urip, pengetahuan tentang kehidupan sejati. Dengan kekuatan ini manusia diharapkan mampu mengenyahkan keadaannya yang sukerta,
dari keadaan tidak sempurna menjadi sempurna. Keadaan sukerta ini
sebenarnya tidak terbatas pada kekurangan fisik seperti anak
ontang-anting dan sebagainya, tetapi keadaan sukerta sendiri adalah
keadaan umum, nasib dari setiap manusia. Artinya setiap manusia, entah
berapa kadarnya, terkena oleh keganasan kejahatan. Maka setiap manusia
sebenarnya perlu disucikan, perlu di ruwat agar menjadi sempurna. Ruwatan yang sebenarnya untuk membebaskan segala mala petaka (sukerta) kehidupan ini tiada lain adalah sebuah upaya melalui pendidikan yang holistik, termasuk pendidikan budi pekerti.
Orang
memang harus berusaha sendiri menghapus keadaan sukerta, tetapi harus
diingat bahwa penyempurnaan akhir tidak terletak pada dirinya, tapi pada
kekuatan ilahi. Ucapan ruwatan pada hakikatnya adalah kepasrahan
manusia untuk menyerahkan diri pada kekuatan ilahi agar kekuatan itu
mampu mengenyahkan kejahatan pada dirinya dengan perantaraan seorang
dalang yang dianggap bijaksana dan bisa menyelamatkan.
-
Nilai Estetika dalam Perwayangan
Sebagai sebuah pertunjukan, wayang memiliki nilai estetik yang begitu tinggi. Sama dengan curiga
(pusaka), kuda (kendaraan), dan kukila (burung), kesenian wayang
merupakan klangenan bagi orang Jawa. Ini dikarenakan, wayang bukan saja
memiliki filosofi yang begitu dalam, namun juga bernilai estetik tinggi.
-
Pelaksana dan Peralatan Wayang
Sebagai
karya seni, pergelaran wayang meliputi beberapa cabang kesenian (seni
teater, ukir, sastra, musik). Dari unsur pelaksana dan peralatan, wayang
terdiri dari dalang (sutradara), niyaga (pemain gamelan) dan pesinden (penyanyi wanita) atau gerong (kor penyanyi pria). Dari unsur peralatannya terdiri dari wayang kulit, kelir, blencong (lampu tradisional), gedhebog (batang pisang), kothak, cempala (kayu pemukul kotak), kepyak (dari kuningan), dan gamelan. Sedang unsur pertunjukan yang bisa dilihat adalah sabetan (gerak wayang), dan yang didengar meliputi (janturan), carios atau kandha, ginem (pocapan) suluk, tembang, dhodhogan, kepyakan, gendhing, gerong, sindhenan.
Betapa tinggi nilai estetika pada wayang di antaranya bisa dilihat dari seni ukir wayang (tatah sungging).
Pembuatan setiap tokoh wayang, memiliki ciri dan watak tersendiri.
Bineka wayang itu tidak menggambarkan manusia secara wajar, tetapi watak
berbagai tokoh dalam dunia perwayangan. Setiap wayang melukiskan secara
wajar, tetapi watak berbagai tokoh dalam dunia perwayangan. Aetiap
wayang melukiskan watak tertentu dan dalam keadaan batin tertentu.
Setiap pola bentuk wayang memiliki wanda, ungkapan watak atau ekspresi batin. Wanda wayang Kresna misalnya, berbeda dengan wanda Arjuna. Sementara wanda Arjuna beraneka ragam pula jenisnya, seperti wanda kinanthi, kanyut, mangu dan sebagainya. Setiap wanda
melukiskan ekspresi keadaan batin tertentu dalam diri Arjuna. Karena
itu, jumlah wayang kulit yang semestinya cukup 200 biji dalam satu
kotak, karena adanya wanda tersebut jumlahnya bisa menjadi 650 biji lebih.
Ini
belum lagi nilai estetika pada seni musiknya. Dalam pergelaran baku
wayang kulit semalam suntuk, bunyi gamelan yang mengiringinya terbagai
dalam tujuh pase. Yaitu, klenengan, talu, patet nem, patet sanga, patet manyura, tancep kayon (penutup), dan golek. Sambil menunggu kehadiran penonton atau tamu, pertunjukan diawali dengan klenengan dengan gending-gendhing Sriwidana, Kadrang Slamet, dan Pangkur, baru kemudian masuk ke talu. Selain mengandung nilai filosofi, dalam dramaturgi sebuah pertunjukan, fungsi gending patalon sebagai intro dari sebuah pertunjukan wayang.
-
Telaah Sastra Lakon Murwakala
Jika di depan diuraikan tentang aspek filosofi dan etika dalam ruwatan dengan lakon Murwakala,
pada bagian ini diuraiakan tentang aspek lakon Murwakala, khususnya
dari aspek seni sastranya. Sastra menurut pangawikan Jawa ialah
pengetahuan bukan saja yang diperoleh dari apa yang tersurat, melainkan
juga tersirat. Alur kisah Murwakala mulai jejer awal sampai tancap kayon, ditemukan suatu komposisi lakon yang unik yang tidak lazim jejer awal sampai tancep kayon, ditemukan suatu komposisi lakon yang unik yang tidak lazim ditemui dalam lakon-lakon lainnya. Dalam Murwakala,
terdapat dua bagian yang masing-masing berdiri sendiri, meski saling
mengisi. Bagian pertama tentang kelahiran Bathara Kala dari kama
salah Bathara Guru di atas Lembu Andini. Cerita ini diakhiri dengan
Bathara Kala yang turun ke bumi dengan hak untuk memakan manusia sukerta, antara lain manusia lahir tunggal (ontang-anting).
Sampai
di sini, cerita pertama itu selesai, lalu disusul bagian kedua yang
temanya berlainan sekali. Bagian ini mengisahkan bertapa anak ontang-anting bernama
Jatusmati merusaha menghindar dan menyelamatkan diri dari kejaran
Bathara Kala. Ia akhirnya diselamatkan Dalang Kandha Buwana lewat ruwatan-nya. Bagaian kedua inilah yang merupakan inti masalah yang membentuk lakon Murwakala. Jadul Murwakala
memang terasa dubius. Bisa diartikan asal mula Bathara Kala, tetapi
bisa juga berarti “Menguasai Sang Kala”. Di sini Kala diartikan sukerta
(kendala, kesulitan, kerawanan). Tema Murwakala dalam lakon Murwakala bukan terletak pada lahirnya Bathara Kala, melainkan pada ruwatan
itu sendiri “Menguasai Sang Kala”. Kisah lahirnya Bathara Kala dalam
ruwatan sekadar sebagai prolog untuk menerangkan Sang Kala”. Kisah
lahirnya Bathara Kala dalam ruwatan sekadar sebagai prolog untuk
menerangkan alur ruwatan.
Perbedaan
mencolok antara prolog dan lakon utama Murwakala, dapat dilihat dari
struktur komposisi para pelaku pendukung yang mewakili karakter
masing-masing. Dalam sebuah lakon terdapat tiga kelompok kekuatan yang
saling berhubungan dan berlawanan, yakni apa yang disebut protagonis,
antagonis, dan tritagonis. Dalam prolog atau cerita pertama, jelas
sekali Bathara Kala lah yang menjadi tokoh protagonisnya (pemeran
utama), sedang para dewa yang memerangi (Wisnu, Narada) sebagai pihak
protagonis. Bathara Guru bisa disebut sebagai tokoh tritagonis karena
dialah penyebab utama timbulnya konflik karena ulahnya itu.
Pada
bagian kedua (tema pokok), pola kedudukan peranan masing-masing
berbalik. Bathara Kala menjadi tokoh antagonis, sedang protagonisnya
Jatusmati, dan para dewa (Bathara Wisnu, Narada, Brahma) menjadi
tritagonis sebab Bathara Wisnu menjadi Dalang Kandha Budawa dan dewa-dewa lain me-ruwat Jatusmati. Tetapi yang paling unik dalam pakeliran
Murwakala adalah, bahwa yang menjadi protagonis paling utama adalah
anak-anak laki-laki dan/atau perempuan dari orang tua yang punya gawe
ruwatan, yang diproyeksikan pada adegan akhir. Pada adegan akhir inilah
dilakukan upacara ruwatan yang sebenarnya dan bukan lagi sebagai adegan
wayang.
Dengan
kemampuan kita menangkap apa yang tersirat dari ruwatan, kita bisa
membaca simbol-simbol atau pasemon yang tersiratkan melalui cerita Murwakala
yang terkesan monoton atau terlalu datar itu. Di sinilah letak bobot
nilai sastra dalam lakon Murwakala, hingga menjadi bergitu indah
mempesonakan. Wayang memberikan peluang besar kepada orang Jawa untuk
melakukan kajian filsafat tentang kehidupan di dunia yang penuh
tantangan ini. Upacara ruwatan pada hakikatnya merupakan usaha
manusia menjawab tantangan tersebut yang dilakukan dengan pertunjukan
wayang, dalam hal ini melalui Sang Dalang Sejati Kandha Buwana dalam
lakon Murwakala..